Lahirnya Kampung Muslim Tondano: Catatan Sejarah Para Pengikut Kyai Mojo
Kisah pembentukan Masjid Al-Falah berawal dari sekelompok Muslim yang merasa terganggu oleh adat lokal yang membiarkan babi dan anjing berkeliaran bebas, menciptakan konflik dengan penduduk lokal. Akhirnya, mereka memilih untuk merelokasi ke seberang Sungai Tondano pada pertengahan 1831. Seperti yang diceritakan oleh Kembuan melalui kutipan dari Pietermaat, "Sebagian besar orang Jawa ini menikahi wanita Alifuru yang akhirnya memeluk Islam."
Sebagaimana yang dilaporkan oleh Graafland, mereka tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam dan berusaha menjalani kehidupan sebaik mungkin. Tidak hanya mendirikan masjid dan mengislamkan sejumlah perempuan Minahasa, mereka juga berusaha mempertahankan tradisi Islam Jawa hingga saat ini.
Di Kampung Jawa Tondano, masih banyak istilah-istilah Jawa yang digunakan dalam upacara pernikahan, seperti bidodareni (dari bahasa Jawa: midodareni). Bahkan, setelah Hari Raya Idulfitri, penduduk kampung ini merayakan Lebaran Ketupat.
Menurut catatan Wahid Koesasie, pernikahan dengan perempuan Tondano hanya terjadi pada masa awal pembuangan. Setelah itu, pernikahan hanya dilakukan antar keluarga orang buangan, sehingga identitas sebagai Jawa Tondano tetap terpelihara.
Mereka awalnya berpikir bahwa tinggal di sana hanya sementara, meski mereka juga tidak tahu kapan mereka akan diizinkan pulang oleh pemerintah kolonial. Sebagai Muslim, mereka membutuhkan tempat untuk salat berjamaah. Mulanya mereka hanya memiliki musala, namun kemudian mereka membangun masjid terkenal di Jawa Tondano, yaitu Masjid Al-Falah (dalam bahasa Arab, Al-Falah berarti kemenangan).
Kyai Koesasie, seorang guru asal Karang dan leluhur dari Wahid Koesasie, disebut-sebut sebagai pemahat ukiran kaligrafi di mimbar dan di saka guru Masjid Al-Falah. Sampai saat ini, masjid tersebut telah mengalami empat kali renovasi. Awalnya masjid tersebut dibangun dari kayu, namun kini memiliki dinding batu, meski tiang utamanya masih tetap kayu.
Awalnya, orang-orang buangan ini membangun rumah seperti di Jawa, yang hanya memiliki lantai tanah. Namun, mereka merubah bentuk rumah mereka setelah terjadi gempa bumi pada 29 Juni 1845.
Rumah-rumah Jawa dan rumah besar orang Minahasa digantikan dengan rumah-rumah yang lebih kecil, namun masih dengan gaya Minahasa, yang berbentuk panggung. Pendeta Graffland bahkan menilai: "Penampilan luar yang khas Minahasa tetapi dengan tata hiasan rumah yang khas Jawa di dalamnya."
Belakangan ini, rumah-rumah panggung di Kampung Jawa Tondano semakin berkurang, digantikan oleh rumah-rumah batu. Rumah-rumah di Kampung Jawa umumnya besar dan memiliki pekarangan yang luas. Jalan-jalan di kampung ini kini sudah teraspal dan bisa dilalui kendaraan roda empat.
Orang-orang Jawa Tondano saat ini tidak lagi menggunakan bahasa Jawa, tidak seperti leluhur mereka. Setelah menikah dengan perempuan setempat, mereka memiliki anak-anak. Orang-orang Jawa yang menikahi perempuan setempat ini, menurut Wahid Koesasie, tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengasuh anak-anak mereka karena mereka harus bekerja di ladang. Oleh karena itu, anak-anak mereka sering kali berada bersama ibu mereka dan berbicara dalam bahasa ibu.
Lanjut .......