Lahirnya Kampung Muslim Tondano: Catatan Sejarah Para Pengikut Kyai Mojo
"Perkawinan dengan penduduk setempat menyebabkan anak-anak hasil perkawinan tersebut lebih menguasai bahasa ibunya daripada bahasa ayah," tulis Roger Allan Kembuan (2016: 189). Bahasa sehari-hari mereka saat ini umumnya adalah bahasa Indonesia dengan dialek setempat, yang tidak berbeda dari penduduk Minahasa.
Penduduk Kampung Jawa Tondano kemudian menjadi lebih bervariasi, bukan hanya orang-orang Jawa keturunan Kyai Mojo dan pengikutnya.
Kembuan mencatat bahwa ada juga punakawan dari Pangeran Diponegoro, Kiai Hasan Maulani, Pangeran Suryaningrat, Pangeran Ronggo Danupoyo, Raden Syarif Abdullah Assegaff, Abdul Gani Ningkaula, Pangeran Perbatasari, aktivis pemberontakan Petani Banten (1888), serta Panglima Perang Aceh, Tuanku Muhamad Batee. Mereka berbaur dengan penduduk Kampung Jawa dan terjadi perkawinan antara keturunan mereka dengan penduduk sebelumnya.
"Tidak ada keraguan bahwa mereka akan membentuk sebuah ras baru di Minahasa," tulis A.F. Spreewenberg dalam A Glance at Minahasa dalam The Journal of India Archipelago (1848: 836). Spreewenberg adalah seorang inspektur pertanian yang dikirim ke Tondano sekitar awal dekade 1840-an.
Generasi Jaton
Kini, Jawa Tondano telah menjadi sebuah komunitas yang memiliki identitas tersendiri. Mereka tidak hanya merujuk pada nama kampung, tetapi juga pada suatu masyarakat. Mereka lebih sering dikenal dengan sebutan Jaton—akronim dari Jawa Tondano.
"Kami bukan lagi orang Jawa. Kami juga bukan Minahasa. Kami adalah Jaton," kata Salim Thayeb.
Ishak Pulukadang dalam Fakta Sejarah Kepahlawanan Kyai Modjo (2017: 97) menulis: "Dari segi etnis, komunitas Jaton menjadi salah satu subetnis Minahasa sebagai hasil asimilasi melalui perkawinan antara pengikut Kyai Mojo dengan keke’ (gadis) anak para Walak sejak Januari 1831." Minahasaraad (Dewan Minahasa) mengakui Jaton sebagai subetnis pada tahun 1919 dan Jaton tunduk pada hukum adat Minahasa.
Lanjut .......