Pembiaran dan Minimnya Pengawasan: Penyebab Maraknya Penambangan Tanpa Izin Hingga Terjadi Insiden
BURUHTINTA.co.id - Kegiatan PETI atau Penambangan Tanpa Izin kembali disorot usai insiden tanah longsor yang melanda kawasan tambang mineral/emas tanpa izin di Desa Tulabolo, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo pada 7 Juli 2024 pukul 09.00 WITA. Berdasarkan data di posko induk Tim SAR gabungan pada pukul 14.00 WITA, jumlah korban meninggal dunia sebanyak 26 orang, korban yang masih dalam pencarian sebanyak 21 orang, dan korban selamat 269 orang.
ASPETI (Asosiasi Penambang Bumi Pertiwi) mengimbau kepada seluruh masyarakat luas untuk lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitas pertambangan yang bisa membahayakan keselamatan diri sendiri. Selain itu, ASPETI mengajak seluruh stakeholder beserta lembaga-lembaga terkait untuk bersama-sama mengawasi seluruh aktivitas pertambangan yang tanpa menggunakan izin, atau Penambangan Tanpa Izin (PETI).
Aktivitas penambangan tanpa izin (PETI) semakin marak di berbagai daerah di Indonesia. Diduga, fenomena ini terjadi akibat adanya pembiaran serta minimnya pengawasan dari pihak berwenang. Hal ini disampaikan oleh Muhammad Rizal Zulkarnain, seorang advokat di bidang pertambangan di Jakarta, Sabtu lalu.
“Adanya pembiaran dari pihak berwenang, kurangnya pengawasan, dan kurangnya sosialisasi dari pihak yang berwajib tentang prosedur dan tata cara pengurusan perizinan tambang rakyat menjadi penyebab maraknya kasus PETI di Indonesia,” kata Rizal.
Menurut Rizal, meningkatnya aktivitas PETI tidak terlepas dari melemahnya pendapatan masyarakat akibat krisis ekonomi yang melanda seluruh lapisan masyarakat, khususnya kelas bawah. Banyak warga yang menggantungkan mata pencaharian dari aktivitas ilegal karena peluang hidup di desa sangat bergantung pada dunia pertambangan.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan terdapat sebanyak 2.741 lokasi tambang ilegal atau PETI di Indonesia, berdasarkan data per Agustus 2021. Data ini harus menjadi perhatian serius oleh pemerintah, dengan tindakan yang bisa berupa pembinaan, pengawasan, atau tindakan ekstrem seperti penutupan aktivitas tambang mineral ilegal.
"Secara normatif, Pasal 158 UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur bahwa PETI merupakan kejahatan, sehingga pelakunya dikenai pertanggungjawaban pidana selama 5 tahun penjara dan denda 100 miliar akan digencarkan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku PETI," ujarnya.
Rizal menekankan bahwa agar aktivitas PETI bisa diberantas, harus ada upaya pengelolaan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WPR). Dengan demikian, pertambangan bisa dilakukan pada area WPR, alih-alih melakukan kegiatan PETI. Asosiasi Penambang Bumi Pertiwi (ASPETI) mendesak Kementerian ESDM untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam memberikan rekomendasi dan penyiapan WPR serta memberikan kemudahan penerbitan Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IPR) terhadap pertambangan rakyat yang tidak berizin, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aktivitas PETI bisa diberantas dengan upaya hukum yang bersifat multisektor disertai koordinasi antarinstansi terkait. Selain itu, diperlukan penegakan hukum yang kuat serta supervisi antara Kementerian ESDM dan lembaga terkait agar pemberantasan praktik ilegal ini bisa berhasil.
Menurut Rizal, perlu juga dibentuk satgas penanggulangan PETI. Satgas ini tidak hanya bersifat penegakan hukum, tetapi juga melakukan pembinaan, fasilitasi, dan supervisi. Yang tak kalah penting, menurut Rizal, adalah perlunya komitmen tinggi dari para stakeholder terkait untuk mengatasi masalah PETI. Pembentukan satgas penanggulangan PETI menjadi salah satu cara untuk menciptakan kerja terorganisasi, lintas sektor, dan komprehensif dalam mengatasi persoalan PETI.***