Darah di Balik Kitab Suci: Pembunuhan, Politik, dan Perebutan Kekuasaan dalam Kodifikasi Al-Qur'an
Sejarah Islam mencatat beberapa peristiwa penting yang melibatkan pertumpahan darah terkait dengan penulisan, pengumpulan, dan penyebaran teks Al-Qur'an. Namun, sebagian besar konflik ini berkaitan dengan masalah politik dan perpecahan dalam umat Islam, bukan langsung tentang isi atau kebenaran teks Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah beberapa peristiwa signifikan yang melibatkan pertumpahan darah terkait dengan kodifikasi Al-Qur'an:
- Pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan
Khalifah Utsman bin Affan adalah tokoh kunci dalam sejarah kodifikasi Al-Qur'an. Selama masa pemerintahannya, Utsman melihat adanya perbedaan dalam cara umat Muslim di berbagai wilayah melafalkan dan membaca Al-Qur'an. Untuk mencegah perpecahan dan kebingungan, Utsman memerintahkan agar sebuah versi standar dari Al-Qur'an disusun dan dikirimkan ke berbagai wilayah Islam. Mushaf-mushaf yang tidak sesuai dengan versi standar ini diperintahkan untuk dibakar.
Keputusan Utsman untuk membuat satu versi standar Al-Qur'an berdasarkan dialek Quraisy memicu ketidakpuasan di beberapa kalangan. Walaupun motivasi utamanya adalah menjaga persatuan, tindakan ini menciptakan ketegangan, terutama di kalangan kelompok-kelompok yang merasa dialek atau cara membaca mereka diabaikan.
Ketegangan politik selama masa pemerintahan Utsman tidak hanya terkait dengan Al-Qur'an, tetapi juga mencakup isu-isu administrasi dan kekuasaan. Pembakaran mushaf-mushaf yang berbeda dianggap sebagai salah satu langkah yang kontroversial, dan ketidakpuasan terhadap pemerintahannya memuncak dalam pembunuhan Utsman pada tahun 656 M. Kelompok pemberontak mengepung rumah Utsman di Madinah, dan akhirnya membunuhnya. Meskipun alasan pembunuhannya lebih bersifat politis, pertikaian ini terkait dengan langkahnya dalam kodifikasi Al-Qur'an.
- Perang Saudara Islam Pertama (Fitnah)
Setelah pembunuhan Utsman, terjadi perang saudara yang dikenal sebagai Fitnah (Perang Saudara Islam Pertama). Konflik ini melibatkan berbagai faksi dalam umat Islam yang bersaing untuk kekuasaan. Meskipun Fitnah ini lebih terkait dengan persoalan politik dan kepemimpinan, perpecahan yang terjadi dalam komunitas Muslim juga memiliki dampak pada penyebaran dan interpretasi teks Al-Qur'an.
Konflik antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan menciptakan ketegangan di kalangan umat Islam, dan Al-Qur'an digunakan oleh kedua belah pihak sebagai sumber legitimasi politik. Pertikaian ini tidak secara langsung terkait dengan perubahan teks Al-Qur'an, tetapi lebih kepada penggunaan dan interpretasinya dalam konteks politik.
- Khawarij dan Konflik Interpretasi Al-Qur'an
Salah satu kelompok yang muncul selama periode Fitnah adalah Khawarij, sebuah sekte radikal yang awalnya mendukung Ali bin Abi Thalib tetapi kemudian memberontak melawan dia karena perbedaan pandangan tentang kepemimpinan dan keadilan. Khawarij sangat ketat dalam interpretasi mereka terhadap Al-Qur'an dan percaya bahwa setiap Muslim yang berbuat dosa besar harus dikafirkan.
Khawarij terlibat dalam berbagai konflik dan serangan kekerasan, termasuk usaha mereka untuk membunuh Ali bin Abi Thalib. Meskipun pembunuhan Ali pada tahun 661 M lebih terkait dengan politik dan kepemimpinan, Khawarij menggunakan Al-Qur'an sebagai dasar bagi keyakinan dan tindakan mereka, yang sering kali memicu pertumpahan darah.
- Konflik dalam Perbedaan Bacaan Al-Qur'an
Pada masa-masa awal Islam, terdapat beberapa variasi dalam bacaan (qira'at) Al-Qur'an yang sah, karena bahasa Arab memiliki banyak dialek dan gaya pengucapan. Beberapa perbedaan ini didasarkan pada bacaan yang diwariskan dari sahabat Nabi Muhammad. Namun, dalam beberapa kasus, perbedaan-perbedaan ini memicu ketegangan.
Khalifah Utsman memutuskan untuk menetapkan satu bacaan standar berdasarkan dialek Quraisy dan memerintahkan pembakaran mushaf-mushaf lain yang berbeda. Meski tindakan ini bertujuan untuk menjaga kesatuan, beberapa kelompok mungkin merasa tersinggung atau terpinggirkan, dan ini memicu ketegangan. Pertumpahan darah yang lebih luas sering kali disebabkan oleh alasan politik, tetapi langkah Utsman ini berperan dalam memperdalam perpecahan tersebut.
Kesimpulan
Pembunuhan dan pertumpahan darah yang terjadi terkait dengan penulisan dan pengumpulan Al-Qur'an lebih sering dipicu oleh konflik politik dan sosial di kalangan umat Islam pada masa awal sejarah Islam. Khalifah Utsman, yang memainkan peran penting dalam kodifikasi Al-Qur'an, dibunuh dalam suasana ketidakpuasan politik yang juga melibatkan tindakannya terhadap pengumpulan dan penyebaran teks Al-Qur'an. Konflik-konflik selanjutnya, seperti Perang Saudara Islam Pertama dan munculnya kelompok Khawarij, menciptakan pertumpahan darah di mana Al-Qur'an sering kali digunakan sebagai legitimasi politik dan teologis, meskipun pertikaian yang terjadi sering kali lebih berakar pada masalah politik daripada teks itu sendiri.***