Ketika Pena Menjadi Senjata: Marco Kartodikromo dan Perjuangan Kaum Pribumi Melawan Penjajah!
Di tengah gelapnya tirani kolonial, ketika suara rakyat terbungkam dan penindasan merajalela, muncul sosok yang berani menantang keadaan. Marco Kartodikromo, atau yang akrab disapa Mas Marco, bukan hanya seorang jurnalis; ia adalah simbol perlawanan kaum pribumi terhadap penjajahan yang menindas. Dengan pena sebagai senjata dan tinta sebagai peluru, ia melawan ketidakadilan yang merenggut hak-hak rakyat.
Api Semangat Kebangsaan yang Menggelora
Dengan diterapkannya Pendidikan Kaum Pribumi berkat Politik Etis, sebuah gelombang kesadaran baru mulai muncul. Pendidikan ini tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga membangkitkan semangat nasionalisme yang mendalam. Dari sinilah lahir tokoh-tokoh berani yang siap melawan penjajah. Marco Kartodikromo adalah salah satu dari mereka. Dalam buku terkenalnya, Student Hidjo, ia menggambarkan perjalanan dan perjuangan yang dialami rakyat pribumi, sekaligus menjadi sorotan utama dalam sejarah jurnalisme Indonesia.
Pena yang Mengguncang Kolonialisme
Mas Marco tidak main-main. Tulisan-tulisannya yang tajam dan berani menjadi suara rakyat yang terpinggirkan. Ia menggunakan bahasa Melayu Rendahan, membuat kritiknya semakin mengena dan mudah dipahami oleh rakyat banyak. Tidak jarang, tulisannya membuat pemerintah kolonial berang. Marco berani menentang lembaga seperti Welvaart Comise, yang dianggapnya tidak layak mengurus kesejahteraan kaum pribumi. Ia bahkan sampai mengakronimkan lembaga itu menjadi “W.C,” seolah menghina keabsahan mereka. Siapa yang berani melakukannya di tengah pengawasan ketat?
Mendirikan Organisasi Jurnalis Pribumi
Tidak hanya berhenti pada tulisan, Mas Marco mengambil langkah berani dengan mendirikan Inlandsche Journalistenbond (IJB), organisasi jurnalis pribumi pertama, pada pertengahan 1914. Di sinilah ia menjadi pionir yang mengorganisir perjuangan melalui jurnalisme. Dengan peluncuran surat kabar Doenia Bergerak, ia menciptakan platform untuk menyuarakan kritik tajam terhadap pemerintah Belanda. Melalui media ini, ia menggalang dukungan dan menggugah kesadaran rakyat akan pentingnya perlawanan.
Pemberontakan Melalui Kata-kata
Setiap kali Mas Marco menulis, ia menulis bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk seluruh bangsa yang terjajah. Ia meresapi setiap kata, membangkitkan semangat juang dalam setiap tulisan yang dimuat di berbagai surat kabar. Ia adalah jurnalis yang tak pernah gentar, meskipun harus menghadapi penjara akibat tulisannya. Tak terhitung berapa kali ia ditangkap dan dipenjara, namun setiap penahanan justru semakin menguatkan tekadnya untuk melawan.
Warisan yang Tak Terlupakan
Kehidupan Mas Marco adalah sebuah perjalanan yang penuh liku, dari seorang pegawai negeri yang biasa hingga menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Setelah terasing dan akhirnya meninggal dunia di Boven Digul, warisannya tetap hidup. Ia meninggalkan kita dengan pelajaran berharga: bahwa pena bisa menjadi senjata yang lebih kuat daripada pedang. Melalui setiap tinta yang dituliskan, ada jiwa yang meronta, ada cita-cita yang takkan padam.
Marco Kartodikromo mengajarkan kita bahwa perjuangan melawan ketidakadilan tidak pernah sia-sia. Dalam dunia yang sering kali membisukan suara-suara kecil, kita perlu berani mengangkat pena dan bersuara. Karena di setiap kata yang kita tuliskan, ada kekuatan untuk mengubah dunia. Jika ia bisa melakukannya di tengah penindasan, mengapa kita tidak?