40 Dawuh atau Pesan Gus Miek: Kebangkitan Spiritual yang Tak Terbendung
Dhawuh 26
Kelak, bila aku sudah tiada, yang saya tempati ini (makam tambak) bertambah ramai (makmur).
Dhawuh 27
Saya disini hanya Ittiba’ (mengikuti) Kiai Sepuh, seperti Kiai Fattah dan Kiai Mundzir. Di sini, dulu pernah dibuat pertemuan Kiai-Kiai Pondok Besar.
Dhawuh 28
Makam ini yang menemukan keturunan Pangeran Diponegoro. Dulu, desa ini pernah dibuat istirahat oleh Pangeran Diponegoro. Di desa ini tidak ada shalat dan tidak ada apapun. Keturunan Diponegoro ini ada dua, yang satu menjadi dukun sunat tetapi kalau berdandan nyentrik, sedang adiknya jadi pemimpin seni jaranan.
Dhawuh 29
Berbaik sangka itu sulit. Jangankan berbaik sangka kepada Allah, kepada para wali dan para Kiai Sepuh saja sulit.
Dhawuh 30
Di tambak itu, kalau bisa bersabar, akan terasa seperti lautan, dan kalau bisa memanfaatkan, akan banyak sekali manfaatnya. Tapi kalau tidak bisa memanfaatkan, ia akan bisa menenggelamkan.
Dhawuh 31
Huruf Hijaiyah itu ada banyak ada ba’, jim, dhot, sampai ya’. Demikian juga dengan taraf ilmu seseorang. Ada orang yang ilmunya cuma sampai ba’, ada orang yang ilmunya sampai jim, ada orang yang ilmunya sampai dhot saja. Nah, orang yang ilmunya seperti itu tidak paham kalau di omongi huruf tha’, apalagi huruf hamzah dan ya’.
Dhawuh 32
Saya bukan Kiai, saya ini orang yang terpaksa siap dipanggil Kiai. Saya juga bukan Ulama. Ulama dan Kiai itu beda. Kiai dituntut untuk punya santri dan pesantren. Ulama itu kata jamak yang artinya beberapa ilmuwan. Ketepatan saja saya punya bapak yang bisa ngaji dan punya pesantren. Itu pun tidak ada hubungannya dengan saya yang lebih banyak berkelana. Dari berkelana itu lahirlah sema’an Al-Qur’an. Jadi, hiburan "anak-anak" dan saya datang bukan atas nama apa-apa. Hanya salah satu pengikut sama’an Al-Qur’an, yang bukan Sami’in setia bukan pengikut yang aktif.
LANJUT …….