Mengapa Yoon Suk-yeol Presiden Korea Selatan Tiba-Tiba Mengumumkan Darurat Militer?
Pada malam Selasa, Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol, mengejutkan seluruh negeri dengan mengumumkan darurat militer—langkah yang belum pernah diambil dalam hampir 50 tahun. Keputusan mendadak ini bukan hanya tindakan ekstrem, tetapi juga ancaman serius terhadap demokrasi yang selama ini dibanggakan oleh Korea Selatan.
Dalam pidato televisi malam itu, Yoon mengklaim bahwa "kekuatan anti-negara" dan ancaman dari Korea Utara adalah alasan utama di balik kebijakan tersebut. Namun, segera terungkap bahwa ancaman tersebut lebih dipicu oleh krisis politik domestik yang semakin memuncak daripada bahaya yang datang dari luar negeri.
Kebijakan Yoon memicu protes besar di luar parlemen, dengan ribuan orang berkumpul menentang keputusan tersebut. Anggota parlemen oposisi pun bergerak cepat untuk mengajukan pemungutan suara yang akhirnya membatalkan perintah darurat militer tersebut. Dalam waktu singkat, Yoon yang terpojok, mengakui kekalahannya dan mencabut keputusan tersebut.
Apa yang Memicu Pencabutan Darurat Militer?
Yoon tampak bertindak sebagai presiden yang terdesak, menurut pengamatan banyak pihak. Dalam pidatonya, ia menyatakan bahwa oposisi politik berusaha menggulingkan pemerintahannya, dan darurat militer adalah langkah untuk "menghancurkan kekuatan anti-negara."
Militer dikerahkan dengan kekuatan penuh—tentara dan polisi dengan helm dan senjata dikirim untuk menjaga gedung parlemen. Media lokal bahkan menayangkan adegan pasukan bersenjata memasuki gedung, sementara staf berusaha melawan dengan alat pemadam kebakaran.
Pada pukul 23:00, militer mengeluarkan dekrit yang melarang protes dan aktivitas parlemen, serta menempatkan semua media di bawah kontrol pemerintah. Namun, keputusan ini segera mendapat kritik tajam dari politisi Korea Selatan, dengan beberapa di antaranya menyebutnya ilegal dan tidak konstitusional. Bahkan, pemimpin partai Yoon sendiri menyebut langkah ini sebagai "kesalahan besar."
Di sisi lain, pemimpin oposisi Lee Jae-myung menyerukan rakyat untuk berkumpul di parlemen dan menentang tindakan Yoon. Seruan ini disambut ribuan orang yang meneriakkan, "Tidak ada darurat militer!" dan "Tumbangkan kediktatoran!"
Mengapa Darurat Militer Begitu Berbahaya?
Darurat militer memberikan kekuasaan penuh kepada militer dalam situasi krisis, ketika pemerintah sipil dianggap tidak mampu menjalankan fungsi-fungsinya. Terakhir kali darurat militer diterapkan di Korea Selatan adalah pada tahun 1979 setelah kudeta yang menewaskan diktator Park Chung-hee. Sejak 1987, Korea Selatan menikmati demokrasi parlementer yang stabil—hingga Yoon menarik pemicu darurat militer pada malam Selasa tersebut.
Yoon, yang dikenal dengan kebijakan keras terhadap Korea Utara, menggambarkan oposisi politik sebagai simpatisan Korea Utara tanpa bukti yang jelas. Dalam situasi darurat militer, militer diberikan kekuasaan ekstra, dan hak-hak sipil sering kali dibekukan. Meski demikian, meskipun militer berusaha mengekang kebebasan politik dan media, pengunjuk rasa dan politisi tidak gentar, dan media nasional tetap melaporkan kejadian tersebut dengan bebas.
Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Setelah pengumuman darurat militer, situasi di Korea Selatan sempat membingungkan selama enam jam. Namun, oposisi dengan cepat bersatu dan berhasil membatalkan keputusan tersebut. Meskipun pasukan militer dan polisi berjaga ketat di ibu kota, tidak terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh militer.
Berdasarkan hukum Korea Selatan, darurat militer harus dicabut jika mayoritas anggota parlemen mengajukannya melalui pemungutan suara. Beberapa jam setelah pengumuman tersebut, parlemen menyatakan keputusan Yoon sebagai tidak sah.
Meskipun dampak jangka panjangnya masih belum jelas, yang pasti adalah keputusan Yoon telah mengguncang kepercayaan publik dan mencoreng reputasi demokrasi Korea Selatan yang selama ini dikenal kuat. Beberapa ahli menilai bahwa langkah Yoon adalah penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merusak ekonomi dan keamanan negara hanya untuk menutupi krisis politik yang semakin memburuk.
Presiden Yoon kini menghadapi tantangan besar—apakah ia dapat bangkit dari krisis ini tanpa merusak lebih lanjut demokrasi Korea Selatan? Dunia sedang menunggu jawabannya.